Sejarah Perkembangan Ilmu Psikologi Agama


A. Pengertian Psikologi Agama


Psikologi agama menggunakan dua kata yaitu psikologi dan agama Kedua kata ini memiliki pengertian yang berbeda. Psikologi secara umum diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia normal, dewasa dan beradab. 

Menurut Robert H. Thouless, psikologi sekarang dipergunakan secara umum untuk ilmu tentang tingkah laku dan pengalaman manusia.

Selanjutnya, agama juga menyangkut masalah yang berhubungan dengan kehidupan batin manusia. Agama sebagai bentuk keyakinan, memang sulit diukur secara tepat dan rinci. Hal ini pula barangkali yang menyulitkan para ahli untuk memberikan definisi yang tepat tentang agama.

Walaupun J.H. Leuba dalam bukunya A Psychological Study of Religion telah memasukkan lampiran yang berisi 48 definisi agama yang diberikan beberapa penulis, tampaknya juga belum memuaskannya, bahkan ia sampai pada kesimpulan, bahwa usaha untuk membuat definisi tentang agama tak ada gunanya, karena hanya merupakan kepandaian bersilat lidah. 

Walter Houston Clark dengan tegas juga mengakui bahwa tidak ada yang lebih sukar daripada mencari kata-kata yang dapat digunakan untuk membuat definisi agama.

Thouless berpendapat bahwa psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang bertujuan mengembangkan pemahaman terhadap perilaku keagamaan dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip psikologi yang dipungut dari kajian terhadap perilaku bukan keagamaan.

Robert H. Thouless cenderung menggunakan istilah nonteistik untuk agama-agama primitif atau agama-agama politeistik, dan menggunakan istilah teistik untuk agama-agama monoteistik.

Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat, psikologi agama meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari berapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya.

Di samping itu, psikologi agama juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut. Penelaahan tersebut merupakan kajian empiris.

Dengan demikian, Psikologi agama merupakan cabang psikologi yang meneliti dan mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya, serta dalam kaitannya dengan perkembangan usia masing-masing. Upaya untuk mempelajari tingkah laku keagamaan tersebut dilakukan melalui pendekatan psikologi.


B. Sejarah Perkembangan Psikologi Agama


Sebagai suatu ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, psikologi boleh dikatakan ilmu yang masih muda, dibanding dengan ilmu-ilmu lainnya seperti: ilmu alam, biologi dan lain-lain, karena baru pada akhir ke-19 psikologi menjadi ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, dalam hal isi, metode dan penggunaanya.

Wilhelm Wundt, dapat dikatakan bapak psikologi modern: ia telah, berusaha untuk menjadikan psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri (otonom). Sebelum abad ke 19, psikologi merupakan bagian dari filsafat. Meskipun demikian persoalan psikologi telah ada sejak berabad abad lamanya. 

Sejak ratusan tahun sebelum masehi, manusia telah mempersoalkan masalah jiwa atau ruh, baik hakekatnya maupun hubungannya dengan manusia. Perbedaan cara memecahkan masalah jiwa di masa lampau dengan di masa modern, terutama terletak dalam cara pendekatannya. Pemecahan di masa lampau bersifat filosofis dan atomistis, sedangkan di masa modern dengan pendekatan scientific (ilmiah), yaitu melalui penelitian-penelitian empiris.


Sesungguhnya dalam kitab suci setiap agama, banyak sekali terdapat ayat-ayat yang berkenaan dengan proses jiwa atau keadaan jiwa seseorang karena pengaruh agama.

Dalam Al Qur-an, misalnya banyak sekali ayat-ayat yang menunjukkan keadaan jiwa orang yang beriman dan sebaliknya orang kafir, sikap, tingkah laku, do'a-do'a, bahkan mengenai kesehatan mental pun banyak terdapat ayat-ayat yang berbicara tentang penyakit dan gangguan kejiwaan, serta kelainan-kelainan sifat dan sikap yang terjadi karena kegoncangan kepercayaan dan sebagainya. Selain itu, dapat pula ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang perawatan jiwa.

Oleh karena itu, untuk menentukan dengan pasti kapan agama mulai diteliti secara psikologis agak sukar, barangkali tidak mungkin karena dalam itu sendiri sudah terkandung ilmu jiwa bahkan sebagian besar dari ajaran agama merupakan bimbingan yang tidak dapat dilepaskan dari kejiwaan.

Penelitian agama secara jiwa modern memang masih sangat muda, karena penelitian modern dalam ilmu jiwa bertumbuh dari filsafat. Ilmu jiwa bukanlah ilmu yang pertama-tama meneliti sejarah aspek agama secara objektif, telah banyak ilmu pengetahuan lainnya yang mempelajari masalah-masalah tersebut misalnya sejarah agama-agama di dunia dan ilmu sosiologi mempelajari tingkah laku seseorang.

1. Edwin Diller Starbuck

Dapat dikatakan bahwa gerakan baru terhadap penelitian ilmiah dalam bidang ilmu jiwa agama dimulai dengan tegas pada tahun 1899 yaitu dengan keluarnya buku Starbuck pada tahun 1899 dengan judul "The Psychology of Religion, An Empirical Study of the Growth of Religious Consciousness" Buku yang mengupas pertumbuhan perasaan agama pada orang.

Sebenarnya Starbuck adalah salah seorang murid dari William James. Akan tetapi, dalam bidang Ilmu Jiwa Agama ia melampaui gurunya. Ketika bukunya tersebut di atas terbit, penelitian William James belum mendalam dan belum berkembang dalam bidang itu. Sehingga dapat dikatakan bahwa perhatian James timbul dan berkembang karena hasil karya muridnya.

 James selalu mendorong muridnya yang cerdas itu untuk mengadakan penelitian ilmiah atau empiris dalam pertumbuhan jiwa agama dan konversi agama. Maka dari itu, Starbuck dipindahkan ke Clark University, di mana ia meneruskan penelitiannya dengan dorongan dari G. Stanley Hail, yang menjadi Rektor pada Universitas tersebut. Penelitiannya itulah yang dapat dianggap sebagai satu tiset ilmiah yang sistematis dalam bidang limu jiwa agama yang dimuat dalam bukunya itu.

2. James H. Leuba

Termasuk salah seorang yang pertama-tama meneliti agama dari segi ilmu jiwa beberapa tahun lamanya. Ia mengajar pada Bryan Mawr College, ia mempunyai pandangan obyektif, sehingga ia berusaha keras untuk menjauhkan Ilmu Jiwa Agama dari unsur-unsur kepercayaan yang tidak dapat dilakukan pada percobaan ilmiah atau pemikiran logis.

la menetapkan bahwa zat Allah bukanlah suatu obyek yang dapat diteliti olel ilmu jiwa, kendatipun orang dapat sampai kepada keyakinan kepada Tuhan, namun jalan yang ditempuhnya bukanlah metode eksperimen, bahkan lebih jauh dia berusaha mengumpulkan kembali semua definisi-definisi yang pernah dibuat orang tentang agama: tak kurang dari 48 teori. 

Dia berkesimpulan bahwa usuha untuk membuat definisi tentang agama itu tak ada gunanya karena hanya merupakan kepandaian bersilat lidah.

Pembicaraan mengenai jiwa berarti akan sedikit banyak menyinggung dari segi historis, karena definisi ilmu jiwa juga mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan pada masa itu, seperti Descartes yang mendefinisikan jiwa sebagai ilmu yang mempelajari jiwa gejala-gejala kesadaran yang nantinya tidak bisa bertahan karena pengaruh signum frued dan kawan kawannya yang berpendapat bahwa alam bawah sadarlah yang banyak mempengaruhi tingkah laku manusia.

Untuk memahami isi dari pada ilmu jiwa pada umumnya baik yang klasik maupun yang modern perlu meninjau sejarah perkembangan ilmu jiwa di eropa barat yang pada akhirnya melahirkan psikologi modern yang dikembangkan seperti yang ada saat sekarang ini.


Psikologi baru diakui menjadi cabang ilmu independent setelah didirikan laboraturium psikologi oleh Wilhem Wundt pada tahun 1879, yang kemudian sangat berpengaruh bagi perkembangan psikologi.

Selanjutnya, para sarjana psikologi mulai menyelidiki gejala-gejala kejiwaan secara lebih sistematis dan objektif. Metode-metode baru ditemukan untuk mengadakan pembuktian-pembuktian nyata dalam psikologi sehingga lambat laun dapat disusun teori-teori psikologi yang terlepas dari ilmu induknya.

Sejak masa itulah psikologi mulai bercabang-cabang ke dalam aliran-aliran karena bertambahnya jumlah sarjana psikologi tentu saja menambah keragaman berfikir dan banyak pikiran-pikiran yang tidak dapat disatukan satu sama lain, karena itulah mereka yang merasa sepikiran pendapat, menggabungkan diri dan menyusun suatu aliran tersebut.

Namun sampai saat ini, aliran psikologi yang lebih diakui secara luas dalam dunia ilmu pengetahuan psikologi terbagi menjadi 3 aliran besar, yaitu Psikoanalisis yang dipelopori oleh Sigmund freud ( 1856-1939 ), behavioristik yang dipelopori oleh Jhon broadus Watson ( 1878-1958 ) yang pendapatnya dipengaruhi oleh pendapat Ivan Pavlov ( 1849-1936 ), dan humanistis yang dipelopori oleh Abraham Maslow ( 1908-1970 ) kemudian disempurnakan oleh psikologi transpersonal. Psikologi Islam menyusul kemudian menjadi aliran psikologi keempat.

Jadi, psikologi agama pertama kali muncul pada akhir abad ke-19 yang dikemukakan oleh Wilhelm Wundt. Adapun perbedaan cara memecahkan masalah jiwa di masa lampau dengan di masa modern, yaitu terletak pada cara pendekatannya. Selain Wilhelm Wundt, ada pula beberapa tokoh yang mengembangkan ilmu psikologi agama, seperti Edwin Diller Starbuck dan James H. Leuba.


C. Sejarah Psikologi Agama di Yunani


Plato (427-347 SM) adalah salah seorang murid Socrates (469 399 SM), dia seorang penganut idealisme yang sebenar-benarnya. Plato menyatakan bahwa dunia kejiwaan berisi ide yang berdiri sendiri-sendiri, terlepas dari pengalaman hidup sehari-hari. Hal ini terutama terdapat pada orang dewasa dan kaum intelektual. Orang dewasa dan kaum intelektual dapat membedakan mana yang jiwa dan mana yang badan. Akan tetapi, pada anak-anak jiwa masih dicampur adukan, belum bisa memisahkan antara ide dan benda-benda konkrit. Jiwa yang berisi ide-ide ini oleh Plato diberi nama Psyche. Psyche, menurut Plato terdiri dari tiga bagian, yang disebut badan trichotomi, yaitu:

1. Berpikir/pikiran, berpusat di otak dan disebut logisticon.

2. Kemauan/kehendak, berpusat di dada dan disebut ithumeticon.

3. Keinginan/nafsu, berpusat di perut dan disebut abdomen.

Selain dari pada itu Plato juga yakin bahwa tiap-tiap orang sudah ditetapkan sejak lahirnya tentang status atau kedudukannya kelak dalam masyarakat. Apakah seseorang itu akan menjadi filusuf, prajurit atau pekerja, sudah tertulis sejak lahirnya.

Dalam hubungan ini Plato dapat dikatakan berpaham determinisme atau nativisme. Dengan demikian, sekalipun ia percaya bahwa tiap orang dilahirkan dengan kekhususan sendiri, manusia dilahirkan tidak sama, sehingga ia dapat pula dikatakan sebagai tokoh pemula dari paham “'individual difference", yaitu paham yang mengatakan bahwa manusia itu berbeda dengan manusia lainnya. Kelak pada masa perkembangan psikologi lebih lanjut, paham "individual difference" (perbedaan individual) ini akan membawa para sarjana ke arah ditemukannya alat-alat pemeriksaan psikologis pada akhirnya. Mengenai Plato ini perlu dikemukakan bahwa ia dalam berfikirnya atau dalam pikiran-pikirannya banyak dipengaruhi pandangan pandangan gurunya, yaitu Socrates.

Pendapat Plato ini bersesuaian dengan hadits yang artinya: “Sesungguh nya masing masing Kamu itu kejadiannya terkumpul dalam perut ibunya 40 hari lamanya, kemudian dalam masa selama itu ia berbentuk 'alaqah (darah kental), kemudian dalam masa yang sama ia menjadi mudghah (daging kempal), kemudian Allah mengutus Malaikat supaya menghembuskan ruh ke dalamnya (mudghah itu) dan Malaikat tersebut diperintah untuk menyampaikan empat perkara kepadanya, yaitu menetapkan rizkinya, ajalnya atau matinya, perbuatannya, celaka dan bahagianya”.

Jadi, jiwa yang berisi ide-ide atau yang diberi nama Psyche menurut Plato terdiri dari tiga bagian, yang disebut badan trichotomi, yaitu: logisticon, ithumeticon, dan abdomen. Selain itu, Plato juga berkeyakinan bahwa tiap-tiap orang sudah ditetapkan sejak lahirnya tentang status atau kedudukannya. Melalui hubungan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Plato memiliki paham determinisme atau nativisme. 


D. Sejarah Psikologi di Indonesia

“The right man in the right place” adagium inilah yang dimunculkan oleh tokoh psikologi Indonesia bernama Slamet Santoso mengenai psikiatri, professor psikiatri di FKUI untuk pertama kalinya yang memperkenalkan psikologi di Indonesia pada tahun 1952, dengan pengalamannya mengenai sejumlah pejabat pemerintah yang mengalami psikosomatik. Setelah menyelenggarakan beberapa pelatihan, Slamet ditunjuk sebagai ketua jurusan psikologi di Fakultas Kedokteran UI. Pada tahun 1960 berdirilah Fakultas Psikologi dengan Slamet sebagai dekan pertama.

Pada tahun 1950-an pemerintah mengirim beberapa psikolog untuk belajar di Belanda dan Jerman yang nantinya ditempatkan dipusat psikologi untuk angkatan darat dan angkatan udara di Bandung. Kemudian mendirikan fakultas psikologi di Universitas Padjajaran pada tahun 1961. Pada tahun 1964, fakultas psikologi berdiri di Universitas Gajah Mada yang kemudian diusulkan Universitas Airlangga di Surabaya.

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) tahun 1998/1999 yang membawahi pendidikan psikologi di Indonesia tahun 1994 membuat kurikulum baru di mana gelar S.Psi diberikan jika mahasiswa telah memenuhi 140 sks, kemudian dapat meneruskan pendidikan S2 ditambah 29 sks untuk mendapatkan gelar psikologi.

Mulai tahun akademik 2000/2001. Fakultas psikologi UI menyesuaikan program pendidikan profesi, sehingga lulusannya akan bergelar M.Psi (Magister Profesi) dan mengkhususkan diri dalam salah satu bidang saja, psikologi klinis, psikologi pendidikan atau psikologi industri dan organisasi.

Penggunaan kode etik psikologi dilakukan oleh lima belas ISPsi (Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia) yang direvisi setiap tiga tahun sekali. Pada awalnya ISPsi menginduk ke Departemen Kesehatan, namun sejak tahun 1993 ISPsi bekerja sama dengan Depnaker dan mengeluarkan izin praktik. Setelah era reformasi dan setelah melihat model-model pengaturan izin di negara-negara lain, akhirnya HIMPSI cenderung mengontrol izin praktik sendiri, terlepas dari pemerintah.

Di Indonesia tulisan mengenai psikologi agama baik yang ditulis oleh orang Islam maupun orang non Islam pada saat ini sudah mulai bermun- culan. Dalam perkembangannya, menurut Djamaluddin Ancok dapat di- kelompokkan menjadi tiga kategori yaitu: Pertama, Islam dijadikan sebagai pisau analisis bagi pengkajian psikologi. Kedua, psikologi dijadikan sebagai "pisau analisis" bagi pemecahan persoalan-persoalan psikologis umat Islam, dan ketiga, menciptakan pola psikologi baru yang digali dari ajaran Islam. seperti dari al-Qur'an, Sunnah dan khazanah pemikir-pemikir Muslim yang memuat topik-topik psikologis.

Setelah melihat literatur yang berkembang di Indonesia. Abdul Mujib mencoba mengelompokkan karya pakar psikologi Islam Indonesia sesuai dengan acuan yang dibuat oleh Djamaluddin Ancok. Menurut Mujib, Zakiah Daradjat dengan sejumlah karya-karyanya telah menempati semua kategori. Dalam karya-karya awalnya, Daradjat mencoba mengelaborasikan pemikiran psikologinya dalam kategori kedua. Hal itu terlihat dalam karyanya, (1) ilmu jiwa agama Agama. (2) Kesehatun Mental, 3) Remaja, Harapan dan Tantangan (4) Perawatan jiwa untuk Anak anak, (5) Pendidikan Agama dan Kesehatan Mental. Namun dalam karya terjemahnya, Daradjat memiliki kecenderungan memilih buku-buku yang tergolong dalam kategori pertama, seperti buku pokok-pokok kesehatan jiwa dan ilmu jiwa.

Dengan demikian, sejarah psikologi di Indonesia yang diperkenalkan oleh Slamet Santoso pada tahun 1952 mengalami perkembangan dengan berdirinya Fakultas Psikologi di UI pada tahun 1960. Selain Slamet Santoso, ada pula tokoh wanita pertama yang ikut berkecimpung dalam dunia psikologi agama, seperti Zakiah Daradjat, ia membuat sejumlah karya-karya yang telah menempati semua kategori psikologi.


E. Sejarah Psikologi di Barat


Untuk menetapkan sejarah perkembangan secara pasti kapan psikologi agama itu mulai dipelajari memang agak sulit. Baik dalam kitab suci, maupun sejarah agama-agama tidak dijumpai penjelasan mengenai hal itu. Akan tetapi, mengenai hubungan antara kejiwaan dengan agama banyak diungkapkan oleh berbagai kitab suci. Demikian pula sejarah agama-agama, tak terkecuali mengungkapkan berbagai tokoh-tokoh agama yang mengalami proses kehidupan yang erat kaitannya dengan arah perubahan keyakinan agama. Konversi agama seperti yang dialami oleh Umar bin Khatab, Sidharta Gautama, misalnya dapat dijadikan contoh nyata tentang hubungan itu. Sumber-sumber Barat mengungkapkan bahwa penelitian secara ilmiah tentang agama dimulai dari kajian para anthropolog.

Hasil penelitian Frazer dan Taylor mengenai agama-agama primitif dinilai sebagai gerakan awal dari kajian itu. Selanjutnya sejumlah penelitian juga dilakukan oleh para sosiolog, dan juga ahli psikologi seperti Stanley Hall. Namun, Edwin Diller Starbuck dipandang sebagai peletak dasar bagi penelitian modern di lapangan psikologi agama. Judul buku yang memuat pembahasan mengenai pertumbuhan perasaan agama yaitu “The Psychology of Religion, An Empirical Study of Growth of Religions Counsciousness”. Buku yang diterbitkan tahun 1899 tersebut dianggap sebagai buku pertama mengenai psikologi agama oleh kalangan ahli psikologi agama Barat.

Dalam kajian barat dijumpai informasi mengenai perkembangan psikologi agama, berdasarkan karya-karya yang berhasil di kumpulkan. Sebelum revolusi Amerika, Jonathan Edward juga telah menyusun buku sekitar tahun 1881, yang menurut G. Stanley Hall berisi penelitian tentang konversi agama. Kemudian, sejumlah artikel tentang masalah yang hampir serupa diperoleh dari tulisan E. Durkeim. Tulisan George Albert Goe ber- judul The Spiritual Life tahun 1900, kemudian buku berjudul The Varieties of Religious Experiences yang mengungkapkan pengalaman agama dari tokoh- tokoh agama merupakan lanjutan dari tulisan-tulisan pendahulunya.

Selanjutnya, dapat dikatakan pula sejak psikologi agama berkembang menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri, tulisan-tulisan mengenai ilmu ini telah banyak dilakukan orang.

Jadi, dalam sejarah perkembangan psikologi di Barat, pada mulanya telah dikemukakan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Frazer dan Taylor mengenai agama-agama primitif. Kemudian penelitian dilanjutkan oleh ahli psikologi seperi Stanley Hall.


F. Sejarah Psikologi Di Timur 

Al-Razi sebagai seorang filosof sufi juga telah membahas tentang Psikotherapi. Hal itu dapat ditemukan dalam bukunya Al-thib al-ruhany. Dalam buku tersebut, sesuaĆ­ dengan judulnya Penyembuhan Jiwa, Razi menguraikan perihal pengobatan dan penawaran kejiwaan. Sedangkan yang paling menonjol ialah al-Razi mengemukakan cara penyembuhan dan perawatan kejiwaan dengan pola hidup sufistik melalui konsep zuhud. Berkat karyanya yang menumental tersebut menurut Sayyed Husin Nasr. a-Razi diposisikan sebagai seorang master yang membidani lahirnya ilmu perawatan jiwa.

Apa yang dilakukan oleh Ibnu Sina dan al-Razi juga dilakukan oleh al-Ghazali. Uraian mengenai kebahagiaan sebagai cerminan kondisi kesetiaan mental di uraikan dalam pembahasan mengenai akhlak sufistiknya dalam Rub'ul mungityat, al-Najat, al- Sa'adah, dan sebagainya. Sedangkan Rubu Fun, dan Zuhd, merupakan sarana menuju terwujudnya ikon tersebut. Dengan kata lain, dalam konteks kajian ini uraian akhlak stifistik Rub'ul munjiyat al-Ghazali merupakan dasar-dasar penting bagi pembahasan kesuliatan mental. Sebagaimana diakui Mahmud Ali Qara'ah bahwa ajaran- ajaran dalam akhlak sufistik al-Ghazali itu tidak lain merupakan butir-butir penting bagi kajian kesehatan mental.

Dari uraian di atas, tampak bahwa para ilmuwan muslim masa silam sudah banyak menyinggung bahasan tentang psikologi agama, kesehatan mental dan tentunya tasawwuf tidaknya, mereka telah berhasil meletakkan dasar-dasar psikologi agama dan kesehatan mental. Sayangnya kajian non Barat belum mendapat perhatian yang seksama, sehingga perkembangan psikologi agama cenderung dilihat secara berat sebelah.

Tidak diperoleh keterangan yang jelas mengapa perkembangan penelitian psikologi agama di dunia Timur tertinggal, padahal dalam bidang-bidang lain, sejarah mencatat betapa pengaruh peradaban Timur (Islam) terbadap perkembangan ilmu pengetahuan modern di Barat (Eropa) bahkan dilirik dari ide yang terkandung dalam buku Ibn Tufail diyakini berpengaruh terhadap ide yang terkandung dalan buku Robinson Crouse tulisan Daniel Deleo 1719. Sedangkan, penggunan nalar dalam pemikiran-pemikiran keagamaan pun dunia Islam diperkirakan lebih leluasa dibandingkam dengan para ilmawan di Barat dalam kurun yang sama.

Walaupun secara formal pembahasan tentang psikologi agama di dunia Timur sama sekali tidak ditemukan, hal ini bukan berarti pada masa itu psikologi agama belum dibicarakan sama sekali.

Dari hasil penelitian AE. Afifi, ditemukan bahwa ternyata dalam filsafat mistis Ibnu Arabi telah banyak diuraikan butir-butir kajian kejiwaan yang tidak jauh berbeda dengan yang dikaji dalam psikologi modern. Ibnu Arabi sudah membahas psikologi empiris, sifat-sifat dan fungsi-fungsi jiwa dan teori tentang mimpi yang banyak diungkapkan oleh Sigmund Freud. Walaupun pembicaraan mengenai butir-butir psikologis tersebut sangat lekat dengan penghayatan sufistiknya, namun hal itu jelas memiliki arti yang sangat penting bagi kegiatan psikologi agama.[9] Jadi, sejarah perkembangan psikologi agama di Timur pada mulanya dibahas oleh Al-Razi (ditemukan dalam bukunya Al-thib al-ruhany). Sebelum al-Razi dan Ibnu Sina menyiarkan tentang psikologi agama, al-Ghazali telah lebih dulu menguraikan pembahasan tentang kesuliatan mental.


Sumber Referensi:

Jalaluddin. 2010. Psikologi Agama (memahami perlaku keagamaan dengan mengaplikasikan prinsip prinsip psikologi). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.






Rahman, Abdul Shaleh. 2004. Psikologi (suatu pengantar dalam perspektif islam). Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri.






Daradjat, Zakiah. 1996. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT Bulan bintang.






Ramayulis. 2002. Psikologi Agama. Jakarta: Kalam Mulia.






E. Effendi, Usman Effendi. 2007. Pengantar Psikologi. Bandung: Angkasa.





0 Response to "Sejarah Perkembangan Ilmu Psikologi Agama"

Post a Comment

Berkomentarlah dengan bahasa yang baik dan sopan dan tidak mengandung penghinaan SARA

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel