Makalah Psikologi Agama : Motivasi Kelakuan Beragama

A. PENDAHULUAN

Motivasi berawal dari kata motif yang memiliki arti dorongan. Motivasi merupakan sebab-sebab yang menjadi dorongan bagi tindakan seseorang. Dorongan itu dapat muncul dari tujuan dan kebutuhan demi berlangsungnya kehidupan manusia. Manusia butuh akan motivasi sebagai penyemangat, gairah, atau dorongan untuk mengambil keputusan.

Agama ialah system norma yang mengatur manusia dengan yang lainnya, sebuah sistem nilai min yang memuat norma-norma tertentu. Secara umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku. Pengaruh agama dalam kehidupan individu memberi kemantapan batin, rasa, bahagia, rasa terlindung, rasa puas, dan dalam hal ini agama dalam kehidupan individu selain menjadi motivasi juga merupakan harapan.

Sedangkan motivasi beragama adalah dorongan manusia untuk memeluk agama yang diyakininya. Berikut dalam makalah ini akan dibahas lebih jelas mengenani motivasi beragama bagi seorang muslim.


B. PEMBAHASAN (MOTIVASI KELAKUAN BERAGAMA)

1. Pengertian Motivasi

Motivasi merupakan istilah umum yang digunakan untuk menggantikan terma motif-motif yang dalam bahasa Inggris disebut dengan motive yang berasal dari kata motion yang berarti gerakan atau sesuatu yang bergerak. Motif dalam psikologi berarti rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga bagi terjadinya tingkah laku. Hasan Langgulung berpendapat bahwa motivasi merupakan suatu keadaan psikologi yang merangsang dan member arah terhadap aktivitas bagi manusia. Dialah kekuatan yang menggerakkan dan mendorong aktivitas seseorang.[1]


2. Peran Motivasi

Motivasi memiliki beberapa peran dalam kehidupan manusia, setidaknya ada empat peran motivasi yaitu : pertama, motivasi berfungsi sebagai pendorong manusia dalam berbuat sesuatu, sehingga menjadi unsur penting dan tingkah laku atau tindakan manusia. Kedua, motivasi befungsi untuk menentukan arah dan tujuan. Ketiga, motivasi berfungsi sebagai penyeleksi atas perbuatan yang akan dilakukan oleh manusia baik atau buruk sehingga tindakannya selektif. Keempat, motivasi berfungsi sebagai penguji manusia dalam beramal, benar atau salah, sehingga bisa dilihat kebenaran atau kesalahannya. Dari keempat peran atau fungsi tersebut, fungsi pendoronglah yang paling dominan diantara fungsi-fungsi yang lain.

Menurut Abdul Aziz Ahyadi, penyebab tingkah laku keagamaan manusia itu merupakan campuran antara berbagai faktor, baik faktor lingkungan, biologis, psikologis rohaniah, unsur fungsional, unsur asli, dan fitrah atau karunia Tuhan. [2]


3. Motivasi menurut perspektif psikologi Islam

Motivasi menurut perspektif psikologi Islam sebenarnya kata motivasi banyak disebutkan didalam bahasa Al-Quran yang salah satunya adalah fitrah yang artinya potensi atau pembawaan manusia yang dibawa sejak ia lahir. Manusia selain sebagai makhluk rasionalistik juga sebagai makhluk metafisik, yaitu makhluk yang digerakkan oleh sesuatu diluar nalar yang biasanya disebut naluri atau insting. Setiap perbutan yang dilakukan manusia baik yang disadari atau (rasional) maupun yang tidak disadari (mekanikal atau naluri) pada dasarnya merupakan sebuah wujud untuk menjaga sebuah keseimbangan hidup. Jika kesimbangan tubuh ini terganggu, maka akan timbul suatu dorongan untuk melakukan aktivitas guna mengembalikan keseimbangan tubuh.

Islam sebagai agama yang sesuai dengan fitrah manusia, sangat memperhatikan konsep keseimbangan yang dijelaskan pada QS. Al-Infithar ayat 7 yang berbunyi :

الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ 

“Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang.” (QS. Al-Infithar : 7)[3]

Berikut ini pengertian motivasi :

a. Menurut Abraham Maslow dan Douglas McGregor, motivasi adalah alasan yang mendasari sebuah perbuatan yang dilakukan oleh seorang individu.

b. Menurut Mitchell, motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah, ketekunan seorang individu untuk mencapai suatu tujuan.

c. Motivasi adalah proses pengembangan dan pengarahan perilaku individu atau kelompok, agar individu atau kelompok itu menghasilkan keluaran yang diharapkan, sesuai dengan sasaran atau tujuan yang ingin dicapai. (Ensiklopedi Manajemen, Ekonomi dan Bisnis, 1993).[4]

d. Menurut Wirawan Sarwono, motivasi adalah istilah yang lebih umum, yang menunjuk pada seluruh proses gerakan, termasuk di dalamnya situasi yang mendorong timbulnya tindakan atau tingkah laku individu.

e. Seberapapun perbedaan para ahli dalam mendefinisikan motivasi, namun dapat dipahami bahwa motivasi merupakan akumulasi daya dan kekuatan yang ada dalam diri seseorang untuk mendorong, merangsang, menggerakkan, membangkitkan dan memberi harapan pada tigkah laku.

f. Motivasi menjadi pengarah dan pembimbing tujuan hidup seseorang, sehingga ia mampu mengatasi inferioritas yang benar-benar dirasakan dan mencapai superioritas yang lebih baik. Makin tinggi motivasi hidup seseorang, maka makin tinggi pula intensitas tingkah lakunya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.


Dalam psikologi Islam, pembahasan motivasi hidup tidak terlepas dari tahapan kehidupan manusia. Secara garis besar, kehidupan manusia terbagi atas tiga tahap penting :

a. Tahapan pra kehidupan dunia, yang disebut dengan alam perjanjian atau alam alastu. Pada alam ini terdapat rencana atau design Tuhan yang memotivasi kehidupan manusia di dunia. Isi motivasi yang dimaksud adalah amanah yang berkenaan dengan tugas dan peran kehidupan manusia di dunia.

b. Tahapan kehidupan dunia, untuk aktualisasi atau realisasi diri terhadap amanah yang telah diberikan pada alam pra kehidupan dunia. Pada alam ini realisasi atau aktualisasi diri manusia termotivasi oleh pemenuhan amanah. Kualitas hidup seseorang sangat tergantung pada kualitas pemenuhan amanah.

c. Tahapan alam pasca kehidupan dunia, yang disebut dengan hari penghabisan atau yaumul akhirah. Pada kehidupan ini manusia diminta oleh Allah untuk mempertanggung jawabkan semua aktivitasnya, apakah aktivitasnya sesuai dengan amanah atau tidak.


Menurut pandangan Islam telah dinyatakan secara jelas bahwa motivasi hidup manusia hanyalah realisasi atau aktualisasi amanah Allah SWT. semata. Menurut Fazlur Rahman, amanah merupakan inti kodrat manusia yang diberikan sejak awal penciptaan, tanpa amanah manusia tidak memiliki keunikan dengan makhluk-makhluk lain. Firman Allah :

إِنَّا عَرَضْنَا اْلأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا اْلإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولاً

“sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu, dan mereka khawatir akan menghianatinya, dan dipikillah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.”(QS. Al-Ahzab : 72)[5]

Dalam Al-Quran disebutkan beberapa motivasi aktivitas hidup manusia. Namun motivasi yang dapat dibenarkan adalah :

a. Tidak ada motivasi atau tendensi apapun dalam ibadah, hidup dan mati ini kecuali semata-mata karena Allah.

b. Semata-mata ikhlas karena Allah SWT, sebab hal itu merupakan bentuk beragama yang benar.

c. Untuk mencapai kebaikan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat dan terhindar dari siksaan api neraka. Firman Allah :

وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار 

“Dan diantara mereka ada orang yang berdo’a : “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.”[6]


4. Pengertian Beragama Menurut Perspektif Psikologi Islam

Beragama berasal dari bahasa Inggris yaitu religiosity dari akar kata religy yang berarti agama. Religiosity merupakan bentuk kata dari kata religious yang berarti beragama, beriman. Beragama adalah adanya kesadaran diri individu dalam menjalankan suatu ajaran dari suatu agama yang dianut. Manusia diciptakan dengan membawa fitrah yang penciptaannya lebih sempurna dibanding dengan makhluk yang lain. Penciptaannya ini dilengkapi dengan akal dan nafs, dengan memiliki akal manusia dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk.[7]

Dalam referensi yang berbeda bahwa manusia memiliki fitrah atau potensi yang terdiri dari Nafs, Qalb, Ruh, dan Aql. Berkenaan dengan agama yang dipeluk setiap manusia, maka hal ini dikaitkan pula dengan Ruh. Ruh merupakan dimensi jiwa manusia yan bernuansa ilahiyyah. Implikasinya dalam kehidupan manusia adalah aktualisasi potensi luhur batin manusia berupa keinginan mewujudkan nilai-nilai ilahiyyah yang tergambar dalam Asmaul Husna (nama-nama Allah) dan berperilaku agama (makhluk agamis). Ini sebagai konsekuensi logis dimensi Ruh yang berasal dari tuhan, maka ia memiliki sifat-sifat yang dibawa dari asal tersebut. Jadi, kebutuhan manusia untuk memeluk agama adalah suatu hal yang logis. Dalam agama, keyakinan terhadap Allah dapat dipenuhi dan dipuaskan. Dari sinilah dapat diketahui, bahwa manusia memang butuh Agama, yang mana konsekuensi ini menolak pandangan psikologi tentang paham Behafiorism dan Psikoanalismyang menganggap bahwa beragama adalah sebagai orang yang mengidap penyakit jiwa.

Menurut perspektif Psikologi Islam, ruh merupakan dimensi spiritual yang menyebabkan jiwa manusia dapat dan memerlukan hubungan dengan hal-hal yang bersifat spiritual. Jiwa manusia memerlukan hubungan dengan Tuhan. Maka dari itu, jiwa juga memiliki daya-daya atau kekuatan-kekuatan yang spiritual yang tidak dimiliki makhluk lain.

Dari dimensi inilah menyebabkan manusia memiliki sifat ilahiyyah (sifat ketuhanan) yang mendorong manusia untuk merealisasikan sifat-sifat Tuhannya dalam kehidupannya di dunia.[8]


5. Motivasi Beragama Bagi Seorang Muslim

Agama berperan sebagai motivasi dalam mendorong individu untuk melakukan suatu aktivitas, karena perbuatan yang dilakukan dengan latar belakang keyakinan agama dinilai mempunyai kesucian, serta ketaatan. Keterkaitan ini akan memberi pengaruh diri seseorang untuk berbuat sesuatu. sedangkan agama sebagi nilai etik karena dalam melakukan sesuatu tindakan seseorang akan terikat kepada ketentuan antara mana yang boleh dan mana yang tidak boleh menurut ajaran yang dianutnya. Sebaliknya agama juga sebagai pemberi harapan bagi pelakunya. Seseorang yang melaksanakan perintah agama umumnya karena adanya suatu harapan terhadap pengampunan atau kasih sayang dari suatu harapan terhadap pengampunan atau kasih sayang dari sesuatu yang ghaib.

Motivasi mendorong seseorang untuk berkreasi, berbuat kebajikan maupun berkorban. Sedangkan nilai etik mendorong seseorang untuk berlaku jujur, menepati janji menjaga amanat dan sebagainya. Sedangkan harapan mendorong seseorang untuk bersikap ikhlas, menrima cobaan yang berat ataupun berdo’a. Sikap seperti itu akan lebih terasa secara mendalam jika bersumber dari keyakinan terhadap agama.

Dalam Al-Qur’an ditemukan beberapa statement baik secara eksplisit maupun implisit menunjukkan beberapa bentukan dorongan yang memengaruhi manusia. Dorongan-dorongan yang dimaksud dapat berbentuk instingtif dan dorongan naluriah, maupun dorongan terhadap hal-hal yang memberikan kenikmatan. Hal ini dijelaskan dalam QS. Ali-Imron ayat 14 dan QS. Al-Qiyammah ayat 20. Ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya memiliki kecintaan yang kuat terhadap dunia dan syahwat (sesuatu yang bersifat kenikmatan pada badan) yang terwujud dalam kesukaan terhadap perempuan, anak, dan harta kekayaan. Dalam surat Al-Qiyammah ayat 20 dijelaskan larangan untuk menafikan kehidupan dunia, karena sebenarnya mausia diberikan keinginan dalam dirinya untuk mencintai dunia itu, hanya saja kesenangan hidup itu tidak diperbolehkan semata-mata hanya untuk kesenangan saja, yang sebenarnya lebih bersifat biologis dari pada bersifat psikis. Padahal motivasi manusia harus terarah pada suatu qiblah, yaitu arah masa depan yang disebut Al-akhirah, sebuah kondisi yang situasi yang sebenarnya lebih bersiaft psikis.

Dalam surat Ar-Rum ayat 30 juga dijelaskan mengenai fitrah manusia atau sebuah potensi dasar. Potensi dasar yang memiliki makna sifat bawaan, yang mengambil arti bahwa sejak diciptakan manusia memiliki sifat pembawaan yang menjadi pendorong untuk melakukan berbagai bentuk perbuatan, tanpa disertai dengan peran akal, sehingga terkadang manusia tanpa disadari bersikap dan bertingkah laku untuk menuju pada pemenuhan fitrahnya. Seperti pada kasus yang terjadi pada “ Agama” animisme dan dinamisme, para pengikutnya bersifat dan bertingkah laku aneh dan irrasional (menyediakan sesajen) ketika memenuhi kebutuhan fitrahnya untuk beragama.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan potensi dasar atau fitrah beragama. Semua manusia pasti membutuhkan agama, sekalipun orang atheis secara actual tidak meyakini adanya Tuhan. Tetapi sebenarnya, secara filosofi, mereka tetap mencari pegangan hidup yang diwujudkan dalam aturan-aturan kesepakatan bersama atau semacam undang-undang yang dibuat mereka. Aturan yang dibuat mereka terkadang lebih fanatic daripada aturan dari seorang penganut agama yang mengakui aturan yang dibuat Tuhan. Dalam menjalankan aturan itu seakan-akan atheis mengakui aturan itu sendiri sebagai Tuhannya. Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak dapat memisahkan diri denagn Tuhan sekalipun manusia tidak menyadari hubungan itu. Inilah yang dimaksud motivasi beragama.[9]

Pendapat lain menyatakan bahwa salah satu ciri utama fitrah adalah manusia menerima Allah sebagai Tuhan. Dari asalnya manusia itu mempunyai kecenderungan beragama, sebab beragama itu sebagian dari fitrahnya. Sebab-sebab yang menjadikan seseorang itu tidak percaya terhadap Tuhan bukanlah sifat dari asalnya, tetapi ada kaitannya dengan alam sekitar. Manusia butuh agama itu karena untuk memberdayakan diri ketika sedang dalam menghadapi kesulitan atau masalah sebagai wujud untuk menghindari bahaya yang akan menimpanya.[10]


6. Jenis Motivasi Beragama[11]

a. Motivasi beragama dalam psikologi

Nico Syukur Dister Ofm, dalam bukunya “Pengalaman dan Motivasi Beragama”, mengatakan bahwa ada empat motivasi yang menyebabkan orang beragama, yang kami simpulkan sebagai berikut :

1) Agama sebagai sarana untuk mengatasi frustasi

Manusia mempunyai kebutuhan dalam kehidupan ini, mulai dari kebutuhan fisik, seperti makanan, pakaian, istirahat, dan seksual, sampai pada kebutuhan psikis seperti keamanan, ketentraman, persahabatan, penghargaan, dan cinta kasih. Orang yng mengalami frustasi tidak jarang berusaha mengatasi frustasinya dengan bertingkah laku religious atau keagamaan. Orang tersebut akan membelokkan arah kebutuhannya atau keinginannya.

2) Agama sebagai sarana untuk menjaga kesusilaan

Setiap individu di saat ia tumbuh menjadi dewasa memerlukan suatu sistem nilai sebagai tuntunan umum untuk mengarahkan aktivitas dalam masyarakat yang berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya. Manusia memang membutuhkan suatu institusi yang menjaga atau menjamin berlangsungnya ketertiban yang menjaga atau menjamin berlangsungnya ketertiban dalam hidup moral dan sosial, dan agama sangat berfungsi sebagai institusi semacam itu. Motivasi beragama yang mereka lahirkan lewat tingkah laku keagamaannya tidak lain merupakan keberadaan agama sebagai sarana untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat.

3) Agama sebagai sarana untuk memuaskan intelek yang ingin tahu

Agama memang mampu member jawaban atas kesukaran intelektual-kognitif, sejauh kesukaran itu diresapi oleh keinginan eksistensial dan psikologis yaitu oleh keinginan dan kebutuhan manusia akan orientasi dalam kehidupan, agar dapat menempatkan diri secara berarti dan bermakna ditengah-tengah alam semesta ini. Tanpa agama, manusia tidak mampu menjawab pertanyaan yang sangat mendasar dalam kehidupannya, yaitu dari mana manusia datang, apa tujuan manusia hidup, dan mengapa manusia ada.

4) Agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan

Ketakutan yang dimaksud dalam kaitannya dengan agama sebagai sarana untuk mengatasinya adalah ketakutan yang tidak ada obyeknya. Ketakutan ini sangat penting untuk psikologi agama. Ketakutan tanpa obyek itu membingungkan manusia dari pada ketakutan yang mempunyai obyek. Apakah ketakutan tanpa obyek ini dapat dianggap sebagai motivasi untuk tingkh laku keagamaan. Secara langsung ketakutan tidak dapat disebut motivasi. Karena, motivasi merupakan dorongan psikologis (keinginan, kebutuhan, kerinduan) selalu ada arahnya, sedangkan ketakutan tanpa obyek justru tidak terarah, tidak ada obyeknya, tidak mengejar apa-apa, tidak bertujuan. Oleh karena itu ketakutan bukan merupakan motivasi untuk agama secara langsung.

b. Motivasi beragama dalam Islam

1) Motivasi beragama yang rendah
  • Motivasi beragama karena didorong oleh perasaan jah dan riya’. 
  •  Motivasi beragama karena ingin mematuhi orang tua dan menjauhi larangannya. 
  • Motivasi beragama karena demi gengsi atau prestise. 
  • Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan sesuatu atau seseorang. 
  •  Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk melepaskan diri dari kewajiban agama. 

2) Motivasi beragama yang tinggi
  • Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan surge dan menyelamatkan diri dari azab neraka. 
  • Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. 
  • Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keridhaan Allah dalam hidupnya. 
  • Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. 
  • Motivasi beragama karena didorong ingin hulul (mengambil tempat untuk menjadi satu dengan Tuhan). 
  • Motivasi beragama karena didorong oleh kecintaan (mahabbah) kepada Allah SWT. 
  • Motivasi beragama karena ingin mengetahui rahasia Tuhan dan peraturan Tuhan tentang segala yang ada (ma’rifah). 

C. PENUTUP

Motivasi dalam perspektif Islam adalah tahapan kehidupan manusia yang terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama, tahapan pra kehidupan dunia, yang disebut dengan alam perjanjian atau alam alastu yang dijelaskan dalam QS. al-A’raf ayat 172. Pada alam ini terdapat rencana dan design Tuhan yang memotivasi kehidupan manusia di dunia. Isi motivasi yang dimaksud adalah amanah yang berkenaan dengan tugas dan peran kehidupan manusia di dunia. Tahapan kedua, tahapan kehidupan dunia, untuk aktualisasi atau realisasi diri terhadap amanah yang telah diberikan pada alam pra kehidupan dunia. Kehidupan manusia pada tahap ini sangat termotivasi oleh pemenuhan amanah. Tahapan ketiga, tahap alam pasca kehidupan dunia yang disebut hari penghabisan (yaumul akhirah). Pada kehidupan ini, manusia diminta oleh Allah untuk mepertanggungjawabkan semua aktivitasnya, apakah aktivitas yang dilakukan sesuai dengan amanah atau tidak, jika sesuai dia akan masuk surga dan jika tidak maka akan masuk neraka.

Beragama menurut psikologi Islam adalah setiap manusia yang lahir ke dunia memiliki potensi atau fitrah untuk memeluk agama yang diyakininya. Hal ini dikarenakan manusia memiliki fitrah yang disebut dengan Ruh. Ruhlah yang mendorong manusia untuk mencari agama yang dianggap benar.

Motivasi beragama bagi seorang muslim merupakan dorongan bagi manusia untuk menjalankan apa saja yang menjadi konsekuensi dari masing-masing agama yang dipeluknya.



D. REFERENSI

Rahman Saleh, Abdul. 2004. Psikologi Suatu Pengantar Dalam Perspektif Islam. Jakarta : Prenada Media.

Mujib, Abdul. 2002. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Baharuddin. 2005. Aktualisasi Psikologi Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Baharuddin. 2004. Paradigma Psikologi Islami. Yogyakarta : Puataka Pelajar.

Ancok, Djamaludin. 2011. Psikologi Islami. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Jauhari Muchtar, Heri. 2008. Fikih Pendidikan. Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA.

Sumanto. 2014. Psikologi Umum. Yogyakarta : Center of Academic Publishing Service.

Ramayulis. 2002. Psikologi Agama. Jakarta : Kalam Mulia.



[1] Ramayulis, Psikologi Agama. (Jakarta : Kalam Mulia, 2002), hal 99-100.
[2] Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta : Kalam Mulia, 2002), hal 101-102.
[3] Abdul Rahman, Shaleh, Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2004), hal. 179.
[4]. Sumanto, Psikologi Umum, (Yogyakarta : Center of Academic Publishing Service, 2014), hal 167-168.
[5] Abdul Mujib, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, (Jakarata : PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal 246-250.
[6] Abdul Mujib, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal 255.
[7] Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2008), hal 7.
[8] Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hal. 145-146.
[9] Baharuddin, Aktualisasi Psikologi Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hal 21-22.
[10] Djamaludin Ancok, Psikologi Islami,(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011), hal 157.
[11] Ramayulis, Psikologi Agama. (Jakarta : Kalam Mulia, 2002), hal 102-109.



0 Response to "Makalah Psikologi Agama : Motivasi Kelakuan Beragama"

Post a Comment

Berkomentarlah dengan bahasa yang baik dan sopan dan tidak mengandung penghinaan SARA

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel